Kasyaf's Blog

Semua Benar Tapi saya yang paling benar

Hukum Syara’

Hukum Syar’i

Kamil Syafruddin

I. Pendahuluan.

Hukum syara’ merupakan salah satu objek pembahasan ushul fiqh yang sangat penting, bahkan tujuan dari ushul fiqh itu sendiri adalah menyimpulkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan Hadits dengan berbagai metode yang bisa digunakan. Imam al-Ghazali mengatakan -kami kutip dari Abu Zahrah- mengetahui hukum syara’ merupakan inti dari ushul fiqh dan fiqh. Sasaran keduan ilmu memang mengetahui hukum syara’ dengan tinjauan yang berbeda.

Hukum syara’ mempunyai beberapa unsur lain yang berkaitan dengannya, seperti, hakim sebagai pembuat hukum, al-mahkum fih sebagai perbuatan yang dibebankan dan juga mahkum ‘alaihi sebagai pelaksana hukum. Namun dalam makalah ini kami hanya membahas tentang hukum syara’ saja yang meliputi hukum taklifi dan wadhi’.

Dalam pembahasan hukum taklifi pertama sekali kami menjelaskan hukum taklifi menurut ushuli kemudian baru menjelaskan hukum taklifi sebagai efek dari nash, misalnya, kami menjelasakan ijab dulu dan setelah itu baru menjelaskan wajib yang menjadi salah satu bagian dari ijab.

Sumber utama yang menjadi rujukan kami dalam membuat makalah ini adalah Mu’jam Ushul al-Fiqh karya Khalid Ramadhan Hasan dan Ushul Fiqh Islami karya Wahbah Zuhaili disamping beberapa literature arab lainnya dan juga buku-buku yang berbahasa Indonesia. Alasan kami memilih kedua buku tersebut sebagai rujukan utama dalam makalah ini, karena kedua buku ini menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami dan dalam membahas permasalahan langsung kepada intinya.

Pembahasan yang belum kami dapatkan dalam membahas hukum syara’ ini yang merupakan tugas yang harus dibahas adalah pembagian hukum syara’ menurut Ibn Hazm. Kemudian ada beberapa hal yang tidak mendetail dalam makalah ini nanti akan kami jelaskan ketika membawakan makalah ini.

Dalam membahas tentang hukum wadh’i, kami menggabungkan langsung antara hukum wadh’i yang asli dan juga penambahan yang ditambahkan atau disempurnakan.

II. Pembahasan.

  1. Pengertian Hukum Syara’.

Pengertian Hukum  bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:[1]

  1. Hukum menurut bahasa yang berarti: mencegah dan memutuskan.
  2. Hukum menurut istilah Ushuliyun, yaitu: Firman Allah swt (nash) yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang bersifat tuntutan, pilihan ataupun kondisional.
  3. Hukum menurut Fuqaha, yaitu: efek dari penerapan firman Allah (nash) yang menghasilkan mubah, wajib, sunat, haram dan makruh.

Yang dimaksud dengan Firman Allah pada dasarnya adalah Al-qur’an dan Sunnah, karena kedua sumber inilah yang menjadi sumber bagi dalil-dalil syar’i  yang lainnya.[2]

Ada dua aspek penting yang harus dipahami dari pengertian hukum menurut Ushuli yaitu:[3]

  1. Tidak termasuk hukum Firman Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan manusia, seperti:
    1. Firman Allah tentang zat dan sifatnya, seperti: والله بكل شيئ عليم
    2. Firman Allah yang berhubungan dengan penciptaan makhluk-makhluk tidak berakal, seperti: والشمس و القمر و النجوم مسخرات بأمره
    3. Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia namun dalam Firman tersebut tidak mengandung tuntutan, pilihan, syarat, sebab dan penghalang. Contohnya firman Allah:

الم غلبت الروم فى أدنى الأرض وهم من بعد غلبهم سيغلبون فى بضع سنين.

  1. Menurut Ulama Ushul yang dimaksud dengan hukum adalah nash syara’ itu sendiri,. Sebagai contoh Firman Allah swt: و أقيموا الصلاة Menurut Ulama Ushul firman inilah yang dikatakan dengan hukum. Sedangkan menurut Fuqaha hukum disini adalah shalat itu wajib.

Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadist ahkam dan dari sini jelaslah kita lihat bahwasanya fiqh bersifat praktis dan ushul fiqh bersifat teoritis.

  1. Pembagian Hukum Syara’.

Hukum syar’i terbagi kepada dua:

  1. Hukum Taklifi.

Hukum Taklifi adalah: Ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf baik perintah, larangan ataupun kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan.[4]

  1. Hukum Wadh’i.

Hukum wadh’i adalah: Ketentuan-ketentuan ataupun kondisi yang membuat sesuatu menjadi sebab bagi hukum yang lain, syarat ataupun penghalang.

  1. 3. Perbedaan antara Hukum taklifi dan wadhi’.
  1. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan atau pilihan antara keduanya bagi seorang mukallaf.

Sedangkan Hukum wadhi’ tidak mengandung ketiga unsur yang ada dalam hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi baik berupa sebab, syarat ataupun mani’ sehingga mukallaf mengetahui kapan ditetapkannya hukum syara’ dan kapan pula berakhirnya.[5]

Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab bagi wajibnya seorang mukallaf menunaikan shalat zuhur.

  1. Perbuatan dalam hukum taklifi adalah perbuatan yang mampu untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan kata lain perbuatan dalam hukum taklifi selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, karena tujuan dari taklif adalah terlaksananya perbuatan tersebut. Dan dalam hal ini berlaku kaidah:

لا تكليف إلا بمقدور

  1. Hukum wadh’i baik sebab, syarat, dan mani’ yang berada dalam kemampuan manusia. Misalnya, mencuri sebab dipotongnya tangan. Saksi syarat sahnya nikah. Membunuh penghalang mendapatkan warisan.
  2. Hukum wadh’i yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, tergelincir matahari sebab wajibnya shalat, baligh syarat untuk bisa mengelola harta, gila pengahalang atas pembebanan syariat.
  1. 4. Pembagian Hukum Taklifi.
  2. Pembagian hukum taklifi menurut Jumhur.

1. Ijab              2. Tahrim

3. Nadb           4. Karahah

5. Ibahah.

  1. Pembagian hukum taklifi menurut Hanafiyah:[6]

1. Fardhu                     2. Wajib

3. Mandub                   4.Haram

5. Makruh Tahrim       6. Makruh Tanzih

7. Mubah.

  1. 5. Hukum Taklifi.
  2. Pengertian Ijab: Khitab syari’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
  3. Perbedaan antara Ijab, wujub dan wajib:
  1. Ijab

Efek dari khitab ini disebut wujub dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan disebut wajib[7]. Jadi, ketika melihat firman dari sisi hakim atau syari’nya maka itu adalah ijab. Dan dilihat dari sisi manusia yang melaksanakan perbuatan maka itu wajib. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa antara wajib dan fardhu sama. Akan tetapi ulama hanafiyah membedakanya.

  1. Perbedaan antara wajib dan fardhu menurut Hananafiyah.

Fardhu: Jika tuntutan untuk mengerjakan perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i baik al-quran atau pun sunnah mutawattir. Sedangkan wajib: Jika tuntutan untuk mengerjakan perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang dhanni, yaitu hadits-hadits ahad.[8]

Misalnya: mengerjakaan shalat lima waktu adalah fardhu, karena berdasarkan dalil qath’i, yaitu:

Sedangkan membaca al-Fatihah didalam shalat adalah wajib. Karena hanya berdasarkan dalil dhanni. Misalnya: لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب dan membaca ayat al-qur’an adalah fardhu karena bersumber dari dalil qath’i yaitu al-qur’an. Sebagaimana Firman Allah: فأقرءوا ما تيسر من القرأن

Efek perbedaan antara Fardhu dan Wajib menurut Hanafiyah, sah shalat tanpa membaca fatihah dan batal shalat jika tidak membaca ayat al-qur’an sama sekali.[9]

  1. Wajib
    1. Definisi wajib

Wajib adalah: suatu ketentuan yang diperintahkan untuk dilaksanakan dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa dan yang menjalankannya berpahala.[10]

2. Pembagian wajib.

  1. Wajib dari segi Kandungan Perintah.
    1. Wajib Mu’ayyan

Kewajiban dimana yang menjadi objecknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalya, kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan dan zakat.[11] Dan terbebas mukallaf dari kewajiban tersebut dengan melaksanakan perbuatan yang tertentu ini saja.

    1. Wajib Mukhayyar.

Kewajiban dimana yang menjadi objecknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah yang boleh dipilih antara memberi makan 10 orang fakir miskin, memberikan pakaian atau memerdekakan budak.[12]

  1. Wajib dari segi waktu pelaksanaannya.[13]
    1. Wajib Muthlaq.

Kewajiban yang dapat dilaksanakan tanpa ada batas waktu tertentu. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah, boleh dibayar kapan saja tanpa ada terikat dengan waktu tertentu.[14]

    1. Wajib Muaqqat / Muqayyad.

Kewajiban yang waktu pelaksanaannya terikat dengan waktu tertentu[15]. Dan wajib ini terbagi kepada 3:

  1. Wajib Muwassa’. Yaitu: waktu yang tersedia untuk mengerjakan perbuatan lebih panjang dari perbuatan itu sendiri sehingga bisa melakukan perbuatan yang lain. . Contohnya Shalat lima waktu.[16] Dan wajib ini dikenal dengan Dharf dikalangan hanafiyah.[17]
  2. Wajib Mudhayyaq. Yaitu: waktu yang tersedia untuk melakukan perbuatan sama panjangnya dengan perbuatan yang dilaksanakan. Misalnya, Puasa.
  3. Dzu Syibhain. Yaitu: kewajiban yang dari satu sisi dilihat muwassa’ dan dari sisi lain juga masuk kedalam katagori mudhayyaq. Misalnya, haji.
  4. Wajib ‘ain yaitu: Kewajiban yang berhubungan dengan pribadi perorangan.
    1. Wajib kifai,yaitu: Kewajiban yang berhubungan dengan orang banyak.
  5. Pengertian Nadb adalah: Anjuran untuk melakukan perbuatan.
  6. Efek dari Nadb disebut juga dengan nadb dan perbuatan yang dituntut disebut dengan mandub atau sunat.
  7. Perbedaan Mandub dan Sunat menurut Hanafiyah.[18]
  1. Wajib dari segi pelaku perbuatan hukum (Mukallaf)
  1. Nadb

Mandub adalah: Perbuatan yang lebih banyak ditinggalkan oleh Rasulullah daripada dikerjakan.

Sunat: Perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah dan Beliau meninggalkan perbuatan itu jika ada uzur.

  1. Mandub

a. Definisi Mandub (Sunnat)

Mandub adalah Perbuatan yang dilakukan oleh Mukallaf berpahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa.

b. Pembagian sunnat.

1. sunnat Muakkad

2. Sunnat ghairu muakkad

3. Sunnat Zaidah.

  1. Tahrim
  1. Pengertian Tahrim.

Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas.

  1. Efek dari tuntutan tersebut disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau mahzhur.
  2. Perbedaan antara Tahrim dan Karahah tahrim menurut Hanafiyah.

Tahrim: larangan yang tegas berdasarkan dalil qath’i, misalnya larangan shalat ketika mabuk. لا تقربوا الصلاة و أنتم سكارى

Karahah tahrim: Larangan yang tegas berdasarkan dalil dhanni. Misalnya, larangan memakai sutera dan cincin emas bagi laki-laki:

هذان حرام على رجال أمتى حلال لنسائهم

d. Haram.

a. Definisi Haram.

Berpahala bagi yang meninggalkannya dan berdosa yang mengerjakannya.

b. Pembagian Haram.

1. Haram Lizatihi

2. Haram li ‘aridhihi.

  1. Karahah
  1. Pengertian Karahah: Larangan untuk meninggalkan perbuatan dengan larangan yang tidak tegas.
  2. Efek dari Larangan tersebut disebut karahah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut dengan makruh. Karahah ini menurut ulama hanafiyah disebut dengan Karahan tanzih.

c.    Makruh.

a. Definisi Makruh.

Makruh adalah Berpahala bagi yang meninggalkannya dan tidak berdosa bagi yang meninggalkanya.

b. Pembagian Makruh.

1. Makruh tanzih

2. Makruh Tahrim

3. Tarkul Aula.

  1. Ibahah.
  1. Pengertian Ibahah: Firman Allah yang mengandung pilihan bagi mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
  2. Efek dari Khitab tersebut disebut Ibahah, dan perbuatan yang mengandung pilihan tersebut disebut dengan mubah, jaiz atau halal.

c.    Mubah.

a. Definisi Mubah.

Mubah adalah Mengerjakannya atau meninggalkannya sama saja.

b. Pembagian Mubah.

1. Mubah yang mengantarkan kepada hal yang wajib dilakukan.

2. Mubah dikarenakan bukan kebiasaan.

3. Mubah yang mengantarkan kepada sesuatu yang mubah pula.

  1. 6. Hukum Wadh’i.

Berdasarkan pengertian hukum wadh’i yang telah dijelaskan diatas maka hukum wadh’i itu pada dasarnya adalah sebab, syarat dan mani’. Akan tetapi Al-Amidi, al-Ghazali, asy-Syatibi dan Khudhari Bik  menambahkan shahih, fasid, ‘azimah dan rukhsah.[19]

  1. 1. Sebab.
  1. Pengertian Sebab.

Sebab menurut bahasa: sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah adalah: sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda adanya hukum dimana adanya sebab adanya hukum dan tidak adanya sebab tidak adanya hukum.[20]

  1. Pembagian Sebab.
  1. Sebab yang merupakan bukan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuan manusia. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf. Misalnya, masuknya bulan Ramadhan menjadi sebab untuk berpuasa ramadhan.[21]
  2. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam batas kemampuan mukallaf. Misalnya, safar merupakan sebab bolehnya berbuka puasa.[22]

Jumhur Ushuli tidak membedakan antara sebab yang bisa ditelusuri oleh akal (logis) dan sebab yang tidak bias ditelusuri oleh akal. Sedangkan sebagian ulama ushul yang lain membedakannya dan menyatakan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang tidak bisa ditelusuri oleh akal, seperti tergelincirnya matahari sebab wajibnya shalat dhuhur. Sedangkan yang bisa ditelusuri oleh akal disebut dengan ‘illat, seperti mabuk sebab tidak bolehnya shalat.[23]

  1. Pembagian Sebab menurut Hanafiyah.[24]
  2. Sebab waktu, yaitu: waktu menyebabkan adanya hukum. Misalnya, waktu shalat.
  3. Sebab ma’nawi, yaitu: suatu perkara yang menyebabkan adanya hukum. Misalnya, nisab sebab wajibnya zakat.

2. Syarat.

  1. Pengertian Syarat

Syarat menurut bahasa adalah tanda-tanda yang mesti ada,[25] sedangkan menurut istilah syarat adalah sesuatu yang membuat tidak adanya hukum tanpa adanya syarat dan tidak semestinya hukum itu ada ataupun tidak dengan adanya syarat[26]dan syarat ini berada diluar dari hakikat perbuatan yang tergantung kepadanya.[27]

b. Perbedaan antara syarat dan rukun.

Syarat dan rukun sama-sama menjadi penentu terpenuhinya suatu perbuatan dengan sempurna. Namun keduanya berbeda dari segi:

  1. Rukun merupakan bagian dan hakikat perbuatan sedangkan syarat berada di luar perbuatan tersebut.Misalnya, ruku’ adalah rukun shalat dan merupakan bagian dari dari shalat. Sedangkan wudhu syarat bagi shalat dan bukan merupakan bagian dari shalat.[28]
  2. Syarat harus ada dari awal hingga akhir perbuatan dan rukun berpindah-pindah dari satu ke yang lainnya.

c. Pembagian syarat.

  1. Syarat dari segi hubungan dengan hukum.[29]
    1. Syarat yang merealisasikan hukum taklifi, misalnya, terpenuhinya haul merupakan syarat wajibnya zakat.
    2. Syarat yang merealisasikan hukum wadh’i. misalnya, muhsan merupakan syarat dirajamnya orang yang berzina.
  2. Syarat dari segi sumbernya.[30]
    1. Syarat Syar’i yaitu syarat yang datang sendiri dari syari’at, seperti, dewasa merupakan syarat wajib untuk menyerahkan harta kepada anak yatim dan ini telah diatur oleh syari’at dalam surat an-nisa’ ayat 6.
    2. Syarat Ja’li yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf sendiri, seperti, syarat yang dibuat oleh pihak tertentu dalam akad tertentu.
  3. 3. Mani’.

a. Pengertian Mani’.

Mani’ menurut bahasa adalah penghalang dari sesuatu. Dan menurut istilah mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.[31]

  1. Pembagian Mani’
  2. Mani’ terhadap hukum. Yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang bagi hukum. Seperti, haid bagi wanita yang menjadi mani’ untuk melaksanakan shalat.
  3. Mani’ terhadap sebab. Yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang berfungsinya sebab. Seperti, berhutang menjadi penghalang wajibnya zakat pada harta yang dimiliki.[32]

4. Sah, Rusak dan Batal.

Pengertian sah menurut syara’ adalah perbuatan yang dilakukan mempunyai akibat hukum. Dan perbuatan dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun. Adapun batal adalah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf tidak mempunyai akibat hukum. Jumhur ulama tidak membedakan antara batal dan rusak (fasid). Misalnya, shalat dikatakan batal adalah sama dengan dikataka fasid, yaitu tidak bisa menggugurkan kewajiban. Jumhur ulama hanya membagi amal perbuatan kepada dua hal saja yaitu sah dan batal.[33]

Aliran Hanafiyah membagi perbuatan mukallaf kedalam dua bagian:

  1. Amal perbuatan yang berhubungan dengan ibadat, adakalanya sah dan adakalanya batal. Tujuan yang hendak dicapai disini semata-mata ta’abud.
  2. Amal perbuatan yang berhubungan dengan muamalah mereka membaginya kedalam tiga bagian yaitu sah, rusak dan batal. Dan tujuan yang hendak dicapai disini adalah menciptakan kemaslahatan.

5. Rukhsah dan Azimah.

  1. Pengertian rukhsah dan azimah.

Rukhsah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meinggalkan hukum yang asli. Sedangkan ‘Azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya.[34]

Abu Zahrah memasukkan rukhsah dan ‘azimah dalam rangkaian hukum taklifi, dengan alasan bahwasanya salah satu dari konsekuensi hukum taklifi adalah berpindah dari hukum yang haram kepada hukum mubah, atau dari hukum wajib kepada jaiz pada waktu-waktu tertentu. Dan masalah yang dibahas dalam rukhsah dan ‘azimah ini adalah perpindahan dari satu hukum taklifi ke yang lain.[35]

  1. Macam-macam Rukhsah.[36]

Rukhsah itu ada beberapa macam antara lain:

  1. Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat. Misalnya, diperbolehkan makan bangkai bagi orang yang terpaksa.
  2. Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya, boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan karena sakit atau berpergian.
  3. Memberikan pengecualian-pengecualian dalam transaksi dagang karena dibutuhkan dalam lalu lintas perdagangan. Misalnya, Transaksi salam.

III. Penutup.

Demikianlah pembahasan hukum syara’, dan kami mengakui masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Namun ada hal penting yang harus kita ambil dari pembahasan diatas bahwasanya para ulama saling berbeda pendapat dan itu menjadi sebuaah khazanah tersendiri bagi dunia islam.

Makalah ini dan pembahasan yang lainnya tidak akan ada jika para ulama dahulu mempunyai kesamaan pendapat dan ijtihad. Bahkan dalam hal-hal ibadah yang sakral pun terjadi perbedaan pendapat, dan ternyata perbedaan pendapat dan ijtihadlah yang membuat masalah tersebut semakin menarik untuk dibahas.


31/07/2009 Posted by | Ushul Fiqh | Tinggalkan komentar

Al-Baqarah 221 Dalam Perspektif Rawai’ul Bayan

Hukum Pernikahan Muslim

Dengan Musyrikah dan Ahl al-Kitab ( al-Baqarah 221 )

Dalam Perspektif Rawai’ al-Bayan Ali ash-Shabuni

Kamil Syafruddin

I. Pendahuluan.

Rawai’ al-Bayan adalah Kitab tafsir tentang ayat-ayat hukum karya Ali ash-Shabuni. Kitab ini mempunyai sistematika yang teratur sehingga pembaca tidak akan mengalami kesulitan dalam membaca kitab ini. Dalam menjelaskan tentang hukum yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, pengarang kitab ini memaparkan pendapat ulama yang berhubungan dengan permasalahan tersebut dan pegarang pun memberikan komentar mana yang lebih baik menurutnya.

Dalam pembahasan pernikahan Muslim dengan musyrikah ataupun sebaliknya dalam pandangan Ali ash-Shabuni, kami disini menggunakan Kitab Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam yang diterbitkan oleh Maktabah al-Ghazali Dimsyiq cetakan ketiga tahun 1980, halaman 282- 290.

Metode yang digunakan Ali ash-Shabuni dalam menafsirkan surat al-Baqarah 221 ini adalah:

  1. Penjelasan makna kalimat (Definisi Operasional).
  2. Penjelasan umum tentang kandungan ayat.
  3. Asbabun Nuzul.
  4. I’rab kalimat.
  5. Pendekatan Tafsir.
  6. Hukum Syara’i tentang pernikahan Muslim dengan Musyrikah dan Kitabiyah serta pernikahan Muslimah dengan Musyrik dan Ahl al-Kitab.
  7. Kesimpulan.

A. Definisi Operasional.

  1. لا تنكحوا المشركات  : Janganlah kalian menikahi wanita penyembah berhala. Wanita Musyrik adalah wanita yang menyembah berhala dan tidak mempunyai agama samawi begitu juga dengan Musyrik. Ada pendapat yang mengatakan bahwasanya wanita Kitabiyah juga termasuk kedalam katagori Musyrikat karena Ahl al-kitab adalah orang-orang Musyrik berdasarkan firman Allah swt:

وقالت اليهود عزيز ابن الله, وقالت النصارى مسيح ابن الله… سبحانه عما يشركون

  1. أمة مؤمنة : الأمة   :  Budak wanita yang mukminah lawan dari wanita merdeka.

B. Penjelasan umum tentang kandungan ayat.

Adapun kandungan ayat ini secara umum adalah:

  1. Larangan bagi orang-orang yang beriman untuk menikahi wanita musyrik sehingga ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan budak wanita yang beriman kepada Allah dan Rasul lebih baik dari pada wanita musyrik yang merdeka, walaupun wanit musyrik itu lebih menarik bagimu baik dari kecantikannya, hartanya maupun kekuasaan yang dimilikinya.
  2. Larangan bagi wanita mukmin untuk menikahi laki-laki musyrik sehingga ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi wanita mukmin menikahi budak yang mukmin lebih baik daripada menikahi musyrik walaupun laki-laki musyrik itu lebih menarik bagi wanita mukmin baik dari hartanya, keturunannya maupun kemuliaanya.

Laki-laki musyrik ataupun wanita musyrik mengajak dan membawa Mukmin dan mukminant ke neraka, sedangkan Allah menyeru untuk berbuat amal shalih yang akan mengantarkan ke surga. Dan Allah pun memberikan bukti-bukti kepada menusia supaya mereka berfikir sehingga bisa membedakan antara yang baik dan buruk.

C. Asbabun Nuzul.

  1. Ayat ini diturunkan pada Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghanawi yang membawa tawanan dari Mekkah ke Madinah dan pada masa jahiliahnya Murtsid mempunyai hubungan dengan seorang perempuan bernama ‘Anaqa. Perempuan ini pun bertanya kepada Murtsid:”Bukankah engkau akan meninggalkanku?” Murtsid menjawab:”Demi Tuhan, sesungguhnya Islam telah menghalalkan hubungan kita” Perempuan itu pun berkata:”Apakah engkau akan mengawiniku?” Murtsid menjawab:”iya, akan tetapi aku kembali dulu kepada Rasulullah dan meminta izin padanya”.

Suyuthi mengatakan cerita Murtsid ini bukanlah asbabun nuzul untuk ayat ini, tapi asbabun nuzul untuk surat an-Nur: الزانى لا ينكح إلاّ زانية أو المشركة… .

  1. Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwasanya ayat ini diturunkan pada Abdullah bin Rawahah yang memiliki budak wanita yang hitam, dia pun marah kepada budaknya dan menamparnya. Kemudian Ibn Rawahah datang kepada Nabi dan menceritakan kejadian tersebut. Kemudian Rasulullah berkata:”Bagaimanakah perbuatannya wahai Abdullah?” Ibn Rawahah menjawab:”Dia puasa, shalat, jika berwudhu memperbaiki wudhu’nya, bersyahadat tiada tuhan selain Allah dan engkau adalah utusan Allah”. Rasulullah berkata:”Wahai Abdullah, dia itu seorang Mukminah”. Kemudian Abdullah bin Rawahah berkata:” Demi Allah, saya akan membebaskannya dan akan menikahinya” kemudian Abdullah bin Rawahah pun melakukannya. Dan peristiwa ini menjadi bahan pembicaraan dikalangan kaum Muslimin, mereka berkata:” Abdullah bin Rawahah menikahi budak”.Dan Kaum Muslimin pada waktu itu lebih suka menikahi wanita musyrikah daripada budak karena lebih cantik parasnya. Lalu diturunkanlah ayat ini.

Dalam makalah ini kami memfokuskan pembahasan mengenai hukum syara’ yang terdapat dalam kitab ini tentang pernikahan Muslim degan Musyrikah dan Kitabiyah dan pernikahan Muslimah dengan Musyrik dan Ahl al-Kitab.

  1. II. Pembahasan.
  1. Pernikahan dengan Kitabiyah.

a. Pendapat Para Ulama.

Secara dhahir ayat, pernikahan yang dilarang adalah pernikahan dengan penyembah berhala dan Majusi, karena kedua kelompok inilah yang dianggap sebagai Musyrik atau Musyrikah. Adapun pernikahan dengan Kitabiyah, Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini:

  1. Jumhur Ulama termasuk pendapat 4 imam mazhab: pernikahan Muslim dan Kitabiyah tidak dilarang yaitu Kitabiyah yang menjaga kehormatannya sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5.
  2. Ibnu Umar mengatakan bahwasanya pernikahan dengan Kitabiyah hukumnya haram. Ibnu Umar menganggap Kitabiyah termasuk kedalam golongan musyrikah. Dengan alasan “ Tidak ada syirik yang lebih besar dari mengatakan Isa adalah tuhan atau menuhankan manusia”

Pendapat ini juga diambil oleh Zaidiyah dan kelompok ini berpendapat bahwasanya surat al-Maidah ayat 5 mansukh dengan surat al-Baqarah ayat 221 ini. Menurut mereka ini termasuk Nasakh Khas dengan ‘Am.

b. Dalil Jumhur Ulama.

  1. Lafadh “Musyrikat” dalam ayat tidaklah termasuk golongan Ahl al-Kitab. Hal ini berdasarkan firman Allah swt: ما يود الذين كفروا من أهل الكتاب ولا المشركين dan juga firman Allah swt: لم يكن الذين كفروا من أهل الكتاب و المشركين  pada kedua ayat tersebut kata “Musyrikin” di ‘athafkan kepada “Ahl al-Kitab” dan ‘athaf tidaklah sama dengan Ma’thuf ‘alaihi, oleh karena itu Ahl al-Kitab tidaklah termasuk kedalam golongan Musyrik.
  2. Pendapat Ulama Salaf yang membolehkan pernikahan dengan Ahl al-Kitab.
    1. Pendapat Qatadah dalam menafsirkan Musyrikat yaitu Wanita-wanita Arab yang musyrik yang tidak memiliki Kitab.
    2. Hamad berkata: Aku bertanya kepada Ibrahim tentang pernikahan dengan wanita Yahudi dan Nasrani. Dan dia menjawab boleh. Kemudian aku mengatakan bukankah Allah swt berfirman: ولا تنكحوا المشركات  Ibrahim menjawab bahwasanya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah wanita penyembah berhala dan wanita Majusi.
    3. Kelompok ini berpendapat bahwasanya surat al-Baqarah tidak bisa menasakh surat al-Maidah, karena surat al-Maidah turun lebih akhir dari surat al-Baqarah. Dan yang awal turun tidak bisa menasakh yang akhir.
    4. Teguran Umar terhadap Huzaifah yang menikahi wanita Yahudi. Dan Huzaifah bertanya kepada Umar apakah haram menikahi wanita yahudi ? Umar menjawab: “Saya tidak mengatakannya haram, tapi aku takut akan terbengkalainya wanita muslimah”. Dari peristiwa ini menunjukkan bahwasanya Umar menegur Huzaifah bukan karena haramnya menikahi wanita Yahudi.
    5. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, Rasulullah saw bersabda tentang kaum Majusi:”Perlakukan mereka sama seperti Ahl al-Kitab, tapi jangan nikahi perempun mereka (Majusi) dan jangan makan sembelihan mereka”.
    6. Pendapat Thabari: Pendapat yang paling tepat dalam mentakwilkan musyrikat adalah pendapat qatadah, wanita ahl al-kitab tidaklah termasuk kedalam golongan musyrikat dan juga tidak ada nasakh disini. Allah swt membolehkan menikahi wanita ahl al-kitab yang muhsanat (yang menjaga kehormatannya) dan adapun teguran Umar terhadap Thalhah dan Huzaifah merupakan sebuah peringatan terhadap mereka karena ditakutkan nantinya banyak orang yang akan mengikuti mereka sehingga wanita-wanita muslimah terabaikaan.
  1. Pernikahan dengan Musyrik.

a. Kenapa Muslimah tidak boleh menikahi Musyrik dan Ahl al-Kitab.

Firman Allah swt: ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا  merupakan dalil tidak bolehnya seorang Muslimah menikahi Musyrik, yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat ini adalah non muslim baik penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan Murtad. Ini semua dikarenakan Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.

Dibolehkannya Muslim menikahi Yahudiyah dan Nasraniyah dikarenakan laki-laki mempunyai otoritas terhadap wanita, dan oleh karena sebab inilah tidak dibolehkan wanita Muslimah menikahi Ahl al-Kitab baik Yahudi maupun Nasrani karena ditakutkan akan murtadnya wanita muslimah dikarenakan otoritas suaminya sebagaimana firman Allah swt: أولئك يدعون إلى النار  Begitu juga dengan anak-anak yang akan mengikuti ajaran bapaknya sehingga mereka besar dalam pendidikan Yahudi dan Nasrani dan akhirnya mereka pun menjadi ahli nereka karena kekufurannya.

b. Bolehnya Muslim menikahi wanita Kitabiyah.

Muslim mengakui kerasulan Musa dan Isa dan juga mengakui Taurat dan Injil merupakan Kitab yang diturunkan oleh Allah kepada keduanya, sehingga ia tidak menyakiti istirinya yang yahudi ataupun nasrani dikarenakan berbeda aqidah karena suami Muslim dan Istri Kitabiyah sama-sama beriman kepada Allah dan suami muslim pun mengakui kerasulan nabi mereka dan kitab mereka. Dan ini berbeda dengan non Muslim yang tidak mengakui al-Qur’an dan dan tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad sehingga hal ini akan menjadi momok dalam kehidupan rumah tangga.

Dalam salahsatu pengajian Ali ash-Shabuni di Madinah. Seorang non muslim yang mengikuti pengajiannya bertanya: “Kenapa Muslim dibolehkan menikahi Nasraniyah dan Nasrani tidak dibolehkan menikahi Muslimah?” Dia menganggap ini merupakan sikap eksklusif yang diperlihatkan oleh umat Islam. Ali ash-Shabuni menjawab:”Kami umat Islam mempercayai nabi kalian Isa dan juga kitab kalian Injil. Jika kalian juga mempercayai dan mengakui nabi kami Muahammad saw dan juga kitab kami Al-Qur’an maka akan kami kawinkan kamu dengan wanita muslimah… Jadi siapakah diantara kita yang sebenarnya eksklusif dan ta’assub?

C. Kesimpulan.

  1. Muslim diharamkan menikahi wanita musyrik penyembah berhala yang tidak memiliki kitab samawi.
  2. Wanita Muslimah diharamkan menikahi nonmuslim baik penyembah berhala maupun Ahl al-Kitab.
  3. Dibolehkan menikahi Kitabiyah Yahudi dan Nasrani jika tidak ada ketakutan rusaknya aqidah anak-anak yang dilahirkan.
  4. Yang membedakan manusia adalah amal shalih sehigga budak wanita yang mukminah lebih baik dari wanita musyrikah yang merdeka.
  5. Laki-laki musyrik akan berusaha untuk membuat wanita mu’minah mengkufurkan Allah.

III. Penutup.

Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya pernikahan Muslim dan nonmuslim dalam perspektif Ali ash-Shabuni tidaklah boleh secara mutlak, tapi ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan.

Ali ash-Shabuni mengatakan bahwasanya pendapat Umar bin Khattab sangatlah bijaksana dengan memperhatikan mashlahat kaum muslimin. Dan pembahasan ini hanya pembolehan pernikahan muslim dengan kitabiyah bukan sebaliknya.

31/07/2009 Posted by | Kajian Keislaman | 1 Komentar